Fakultas Teknologi Informasi
Menyiapkan Jejaring Internasional Tangguh Menuju Indonesia Emas

Menyiapkan Jejaring Internasional Tangguh Menuju Indonesia Emas

Sangat menarik, membaca Kompas edisi 28 Juni 2023 yang membahas kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan pengaruhnya terhadap sumber daya manusia Indonesia. Ditambah opini dari 12 pimpinan perguruan tinggi ternama Indonesia terkait berbagai aspek peningkatan SDM menuju Indonesia masa depan. Tulisan ini akan melengkapi pemikiran-pemikiran tersebut dengan usulan strategi agar Indonesia Emas di 2045 dapat terwujud.

Pertama, akan kita rangkum terlebih dahulu pokok pikiran 12 tokoh pendidikan Indonesia tersebut, berikut ini.

Indonesia bertujuan untuk menjadi negara maju di masa depan. Namun, cukup banyak tantangan yang dihadapi, yaitu sebagai berikut. Bagaimana mengelola bonus demografi menjadi produktif. Peningkatan SDM melalui peningkatan indeks pembangunan manusia, penurunan tengkes (stunting), peningkatan skor PISA, penurunan DALY (disability-adjusted life years/kehilangan waktu sehat).

Selain itu, juga menghindari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap) yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Mendorong lulusan luar negeri untuk berkontribusi bagi Indonesia dengan mengaktualisasikan ilmunya. Serta meningkatkan daya saing bangsa melalui prestasi di bidang sains dan teknologi, pemerintahan yang bersih dan akuntabel, dan nasionalisme.

Baca juga: Manusia Unggul Indonesia Maju 2030

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, salah satu caranya adalah dengan optimalisasi pendidikan tinggi, dengan langkah sebagai berikut. Menerapkan program Kampus Merdeka, pembelajaran yang berbasis pada studi kasus, pemecahan masalah, dan inovasi. Re-skilling dan up-skilling melalui transformasi digital agar lulusan perguruan tinggi dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan industri. Link and match antara perguruan tinggi dan industri, sehingga lulusan memiliki future skills yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Selain itu, juga mendorong learning by doing melalui riset berkualitas melibatkan kolaborasi dalam dan luar negeri. Transformasi ekosistem perguruan tinggi, melalui kolaborasi riset dengan industri dengan output yang dapat dimonetisasi, seperti licensing, spin off, atau pembentukan joint venture company. Meningkatkan literasi maritim sebagai identitas bangsa Indonesia, melalui model pembelajaran multibahasa. Serta membangun multikampus multidisiplin dan juga Ekonomi Berbasis Inovasi (EBI) dengan karakter HEBAT (humble, helpful, honest, excellent, empathy, brave, bright, agile, transcendence, takwa).

Namun, apakah itu sudah cukup? 

Berkaca ke India dan China

Apabila kita perhatikan para CEO perusahaan Fortune 500, ada sekitar 60 yang berasal dari India. Juga, terdapat lebih dari 140 perusahaan asal China yang berada di Fortune 500. Kira-kira mengapa bisa demikian? Apakah karena pendidikan di negara tersebut sangat baik?

Ada yang menarik dari studi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) 2019 terkait pendidikan di India. Ternyata 71 persen orang dewasa India tidak mengenyam pendidikan menengah. Namun, ada hal lain yang juga menarik, di mana rasio guru terhadap murid di sekolah menengah atas swasta dan negeri di India cukup jauh bedanya. Di sekolah negeri 1:41, sedangkan sekolah swasta 1:19. Sementara di Indonesia untuk sekolah negeri 1:30 dan swasta 1:26. Selain itu, rerata negara OECD, rasio untuk sekolah negeri 1:16 dan swasta 1:15.

Dan, ternyata mayoritas siswa menengah atas India terdaftar di sekolah swasta, dengan rasio guru terhadap siswa jauh lebih baik. Lebih jauh lagi, lulusan program doktoral di India jumlahnya sekitar 10 persen dari lulusan program doktoral di negara G20. Pada 2017 saja, India meluluskan 29.000 doktor, kira-kira sejumlah gabungan lulusan dari Jerman dan Inggris. Porsinya, 29 persen di bidang natural sciences, mathematics, dan statistics, sementara di negara G20 hanya 22 persen.

Lalu bagaimana di China? China menduduki ranking 1 PISA untuk ketiga subyek (reading, mathematics, science). Hasil ini mungkin terkait juga dengan rasio guru terhadap murid, yang rerata nasionalnya adalah 1:15, bahkan di Beijing 1:9. Menariknya juga, topik tentang pengelolaan keuangan pribadi telah dimasukkan dalam kurikulum nasional di pendidikan dasar dan menengah China sejak 1990-an. Dan itu bukan hanya teori karena realitasnya 36 persen siswa mendapat penghasilan dengan bekerja paruh waktu di luar jam sekolah dan 16 persen mendapatkannya dari pekerjaan informal.

Selain itu, studi ke luar negeri juga menjadi faktor penting untuk mendapatkan skill dan pengalaman lebih serta mempermudah bekerja di pasar global. Berdasarkan data pada 2018, 30 persen mahasiswa asing yang studi di negara OECD berasal dari India dan China. Bahkan, menurut laporan DLR Jerman (2020), banyak dari akademisi China yang telah selesai studi akan tetap tinggal di negara tersebut. 

Di Amerika, yang mempunyai sekitar 464.000 doctoral dan post-doctoral asing, 22 persen berasal dari China, dan mayoritasnya di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). Dengan tetap tinggal dan bekerja di negara maju tersebut, walaupun bisa dilihat sebagai brain drain, di sisi lain justru dapat memperkuat posisi China, baik dari sisi akses mendapatkan berbagai informasi maupun membantu kolaborasi antar negara.

Lalu, bisakah Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat setelah China, India, Amerika, maju mendekati posisi mereka? 

Perantau intelektual Nusantara

Berdasarkan data UNESCO, China telah mengirimkan lebih dari 1 juta mahasiswa ke luar negeri atau sekitar 0,08 persen dari 1,4 miliar penduduknya. Sementara Indonesia baru mengirimkan sekitar 55.000 orang atau sekitar 0,02 persen dari 275 juta penduduknya. Masih jauh lebih kecil, baik dari jumlah maupun persentase. Dari jumlah tersebut, yang kemudian menetap dan berperan di industri negara asing juga belum banyak.

Mungkin diperlukan banyak ”perantau intelektual Nusantara” yang bisa membantu agar semakin banyak perguruan tinggi dan lembaga research and development (penelitian dan pengembangan) Indonesia berkolaborasi dengan negara maju. Dari pengalaman saat studi S-3 di Inggris, penulis melihat ada salah satu associate professor asal China yang mempunyai belasan research assistant asal China, dengan dana riset Uni Eropa.

Saat ini Pemerintah Indonesia melalui Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) yang telah mengirim lebih dari 15.000 mahasiswa S-2 dan S-3 keluar negeri, mungkin perlu memperbaiki polanya. Berikan penugasan untuk bekerja di sana (luar negeri) setelah lulus. Dan perlu diberikan juga porsi untuk S-1, dengan syarat bahwa mereka harus bisa berprestasi dan dipercaya oleh dosen supervisornya menjadi research asistant dan bisa langsung studi S-3 (tanpa melalui S-2) dengan beasiswa setempat. 

Hal ini dimungkinkan dan sudah terbukti ada beberapa orang Indonesia yang melakukannya. Dan setelah selesai S-3, mereka ditugaskan untuk berkarier di sana, baik sebagai akademisi, maupun di industri, sehingga akan menjadi katalisator kolaborasi Indonesia dengan negara maju. Dan untuk meringankan tugas pemerintah, bagi orangtua Indonesia yang mampu menyekolahkan anaknya di luar negeri dan berkarier di sana serta berkontribusi bagi kerja sama internasional Indonesia, maka bisa diberi insentif, misalnya potongan pajak.

Kita punya Sri Mulyani dengan jejaring internasional bidang ekonomi, juga Erick Tohir dengan jejaring internasional sepak bola. Dan kita perlu lebih banyak lagi tokoh Indonesia dengan jejaring internasional di bidang pendidikan, riset, dan industri. 

 

Wiseto Agung, Wakil Rektor Kerja Sama dan Inovasi ARS University Bandung; Ex VP Digital Strategy and Innovation, Telkom Indonesia

Instagram: wiseto